Jumat, 07 Maret 2008

Ringkasan Khotbah: Markus 4:35-41

Markus 4:35-41

GAUL DENGAN ALLAH

Siapa dia? Pertanyaan ini biasanya kita ucapkan pada saat bertemu dengan orang yang masih asing bagi kita, orang yang belum kita kenal sama sekali, atau mungkin juga orang yang pernah kita temui tapi kita lupa akan dirinya. Yang pasti pertanyaan ini kita tujukan pada orang yang kita belum kenal dengan baik.

Merupakan suatu keanehan jika pertanyaan “Siapa Dia?” ini kita tujukan pada teman-teman kita, saudara kita, atau orang tua kita. Maksudnya ialah akan aneh rasanya jika kita mengajukan pertanyaan ini kepada orang-orang yang dekat dengan kita atau pada orang-orang yang waktunya sebagian besar berada bersama-sama dengan kita. Mengapa? Karena ketika kita mengajukan pertanyaan tersebut kepada orang yang dekat dengan kita, maka itu menunjukkan bahwa kita belum mengenal orang tersebut dengan baik.

Dalam Markus 4:35-41 dicatat bahwa pada sore hari setelah mengajar orang banyak, Yesus dan murid-murid-Nya naik perahu untuk menyeberang. Singkat cerita di dalam perahu Yesus tidur, dan kemudian pada ayat 34 dikatakan bahwa terjadilah angin ribut yang menggoncangkan perahu mereka, sehingga mulai penuh dengan air.

Karena takut perahu mereka akan tenggelam, maka para murid berusaha dengan keras untuk menyelamatkan diri mereka. Ada yang mencoba untuk mengeluarkan air dari dalam perahu, ada yang mencoba untuk menurunkan layar perahu agar angin tidak mempermainkan perahu mereka, semua usaha dilakukan agar mereka bisa selamat. Ketika seseorang berada dalam ketakutan, maka ia tidak dapat berpikir dengan tenang dan akan berusaha dengan cara macam apapun untuk mempertahankan dirinya. Akan tetapi semakin lama semakin nampak bahwa usaha para murid sia-sia. Air terus masuk ke dalam perahu mereka, sedangkan angin ribut tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Melihat keadaan ini para murid nampaknya semakin putus asa dan panik.

Di tengah-tengah kepanikan dan keputus-asaan para murid saat itu, mereka melihat satu sosok sedang tidur di dalam perahu. Ketika yang lain sedang bekerja keras agar perahu mereka tidak tenggelam, orang ini malah tidur di perahu. (Bayangkan jika seandainya dalam satu tugas kelompok untuk dikerjakan bersama-sama, ada satu anggota yang tidak mau bekerja sama sekali. Ia hanya bersantai-santai ketika anggota yang lain bekerja keras menyelesaikan tugas mereka. Apa yang dirasakan oleh anggota kelompok yang bekerja tersebut terhadap teman mereka ini? – kira-kira seperti itulah yang para murid rasakan ketika melihat orang ini.)

Siapakah orang yang tidur ini? Tidak lain dan tidak bukan orang yang tidur itu adalah guru mereka sendiri, yaitu Yesus. Mungkin dengan perasaan jengkel bercampur panik dan putus asa karena perahu mereka akan tenggelam, para murid segera membangunkan Yesus dan berkata ”Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?”. Mereka seolah-olah ingin berkata ”Guru, Kamu kok enak-enak saja tidur. Apa Kamu tidak tahu kalau kita sebentar lagi mau mati? Ayo bantu kami untuk menjaga perahu ini tidak tenggelam!” Di dalam kondisi seperti ini apa yang dilakukan para murid merupakan reaksi yang wajar, seperti manusia biasa pada umumnya yang takut akan kematian.

Namun hal yang menarik terjadi! Setelah melihat para murid-Nya yang panik dan putus asa tersebut, Yesus pun bangun dan menghardik angin itu dan berkata kepada danau itu agar tenang. Sehingga angin ribut itu reda dan danau tersebut pun menjadi teduh sekali. Setelah itu Yesus pun menegur murid-murid-Nya ”Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?” Pertanyaan-pertanyaan Yesus ini rasanya sulit untuk dimengerti. Karena memang pada waktu itu para murid sudah takut mati, sehingga rasanya pertanyaan ini kurang tepat. Tapi mengapa Yesus tetap mengatakan hal ini? - yang rasanya lebih tepat dipahami bukan sebagai pertanyaan yang memerlukan jawaban, melainkan merupakan sebuah teguran yang keras kepada para murid. Apa sih maksudnya? (mari kita lihat lebih jauh lagi).

Entah karena keheranan terhadap peristiwa yang baru saja mereka alami, para murid tidak memberikan respon secara langsung terhadap pertanyaan Yesus tersebut. Mereka malah takut kepada Yesus (pertama takut pada angin ribut, namun setelah itu takut pada Yesus) dan untuk pertama kalinya di dalam Alkitab dicatat para murid bertanya seorang pada yang lain ”Siapa gerangan orang ini, ...” atau dengan kata lain ”Siapa Dia? (v. 41).

Sikap para murid yang pertama kali mendiskusikan tentang siapa Yesus ini menunjukkan bahwa mereka belum mengenal Yesus dengan baik, padahal mereka sudah sekian lama bersama-sama dengan Yesus. Jika mereka mau mendiskusikan tentang siapa Yesus ini, bukankah rasanya harus di awal mereka mengikut Yesus. Tapi kok baru sekarang? Sehingga dari sini dapat diketahui bahwa selama ini para murid belum mengenal Yesus dengan baik. Apalagi bila kita balik pada waktu para murid membangunkan Yesus dari tidurnya, mereka mengatakan ”Apakah Engkau tidak perduli kalau kita binasa?” Apakah memang Yesus benar-benar tidak perduli? Tetapi mengapa para murid bisa berkata seperti itu? pada Yesus lagi, yang tidak lain dan tidak bukan adalah guru mereka sendiri. Apakah para murid tidak tahu bahwa guru mereka, Yesus Kristus, adalah Pribadi yang berkuasa? Tahu, karena mereka berada bersama-sama dengan Yesus pada saat Ia mengusir setan, menyembuhkan orang sakit, dan mengajar orang banyak yang baru saja mereka ikuti pada pagi hari itu. Ternyata pengetahuan akan seseorang tidak menjamin bahwa kita mengenal orang tersebut dengan baik, begitu pula hubungan kita dengan Allah. Pengetahuan akan Allah tidak menjamin bahwa kita mengenal Allah dengan baik.

Lalu bagaimana caranya mengenal Allah dengan baik? Hiduplah bergaul dengan Allah, yaitu dengan tekun berdoa, saat teduh yang teratur, membaca Alkitab, dan rajin beribadah. Semakin kita setia dan tekun melakukan hal-hal ini, maka kita akan mengenal Allah dengan baik dan dapat mengetahui apa yang menjadi kehendak-Nya buat kita, sehingga kita dapat hidup menjadi saluran berkat bagi orang lain untuk kemuliaan nama Allah.

Lihatlah teladan Henokh, sebagai orang yang hidup bergaul dengan Allah (Kejadian 5:24). Henokh diangkat ke surga dan bahkan ia sudah menubuatkan kedatangan Tuhan yang kedua kali pada masa hidupnya (Yudas 1:14). Nuh yang selamat dari air bah karena hidup bergaul dengan Allah. Daniel beserta kawan-kawannya, Elia, dan masih banyak tokoh di dalam Alkitab yang hidup bergaul dengan Allah. Sehingga mereka bisa mengenal Allah dengan baik, mengetahui kehendak-Nya, dan dapat menjadi berkat bagi orang di sekitarnya.

Tidak ada ruginya hidup bergaul dengan Allah, malah kita akan semakin mengenal Allah dengan baik. Oleh karena itu, marilah kita hidup bergaul dengan Allah, sehingga pada waktu angin ribut dan gelombang besar datang menerjang kita (permasalahan hidup, ketakutan, tekanan dan ancaman dari orang yang membenci kita, serta pengaruh ajaran sesat yang mengancam), kita akan dapat dengan teguh berdiri. Sebab kita tahu siapa perlindungan dan pengharapan kita, yaitu Allah yang merupakan sumber keselamatan kita.

SUDAH GAUL DENGAN ALLAH BELUM?

Sabtu, 09 Februari 2008

Sound From A Wounded Heart

SOUND FROM A WOUNDED HEART

(Pemikiran Mengenai Perlunya Pendampingan Pastoral Terhadap Anggota Gereja Yang Terkena Disiplin Gereja)

I. Pendahuluan

A. Latar Belakang

Pelaksanaan disiplin dengan setia merupakan salah satu tanda khusus yang dimiliki gereja.1 Tanda khusus ini diperlukan untuk membedakan gereja yang sehat dari gereja yang tidak sehat, sehingga dengan demikian pelaksanaan disiplin dalam gereja menjadi sangat penting.

Akan tetapi berkaca dari keadaan gereja-gereja di Indonesia, disiplin gereja selain sulit untuk dilakukan juga seringkali menjadi sesuatu yang menakutkan bagi anggota gereja yang mengalaminya. Tidak sedikit orang yang menjadi hancur hidupnya, memiliki kepahitan terhadap gereja, bahkan meninggalkan keyakinan imannya karena disiplin gereja yang diterimanya. Disiplin gereja yang seharusnya menjadi obat yang menyembuhkan, malah menjadi racun yang mematikan. Mengapa bisa terjadi hal demikian? Ada apa dengan disiplin gereja?

B. Hipotesa

Penulis memikirkan bahwa disiplin gereja menjadi sesuatu yang menakutkan karena;

a. Kurangnya pemahaman yang baik di dalam jemaat tentang disiplin gereja, yang dapat membuat mereka akan memandang hina, membenci, bahkan menjauhi anggota gereja yang terkena disiplin gereja.

b. Kurangnya atau bahkan mungkin tidak adanya pendampingan pastoral yang dilakukan pihak gereja kepada anggotanya yang terkena disiplin, yang menunjukkan bahwa pelaksanaan disiplin gereja tersebut kurang serius dan tidak bertanggung jawab.

Dan faktor kedua inilah yang menjadi fokus pembahasan penulis dalam tulisan ini.

Ketika gereja telah memberikan disiplin kepada anggotanya, maka gereja juga bertanggung jawab untuk memberikan pendampingan pastoral terhadap anggotanya yang terkena disiplin. Dengan demikian disiplin gereja akan dapat memulihkan orang tersebut dari penyakitnya.

Pada bagian selanjutnya, penulis akan membahas secara ringkas mengenai disiplin gereja, pendampingan pastoral, perlunya pendampingan pastoral terhadap anggota gereja yang terkena disiplin gereja dan relevansinya bagi masa kini.

II. Disiplin Gereja

Disiplin gereja atau yang biasa juga disebut potestas iudicans merupakan kuasa yang dipakai untuk menjaga kesucian gereja, dengan cara menerima mereka yang telah lulus suatu ujian dan menyingkirkan mereka yang ada di luar kebenaran atau melakukan hal-hal yang tidak benar di dalam hidup mereka.2

Dalam karyanya Institutio Christianae Religionis, Calvin mengemukakan tiga tujuan yang hendak dicapai dalam disiplin gereja, yaitu; a. Supaya mereka yang menempuh hidup yang memalukan dan keji tidak sampai digolongkan sebagai orang Kristen. b. Supaya orang-orang yang baik tidak dirusak karena terus-menerus bergaul dengan orang-orang yang jahat, sebagaimana yang biasanya terjadi. c. Supaya mereka yang terkena disiplin gereja menjadi malu dan mulai menyesali kejahatan mereka.3

Berdasarkan pengertian dan tujuan disiplin gereja tersebut, dapat dipahami bahwa disiplin gereja bisa bersifat menyembuhkan anggotanya yang sakit. Akan tetapi disiplin gereja juga bisa bersifat membedah, yaitu bermaksud menyingkirkan anggota yang sakit itu. Pemahaman inipun nampak dalam pandangan Augustinus ketika menghadapi kaum donatis, seperti yang dikutip oleh Van Den End;4

Memang, hukuman disiplin atas orang yang berkelakuan buruk harus ada. Tetapi hendaknya pelaksanaan hukuman itu jangan seperti pisau tukang bantai yang menyembelih, tetapi seperti pisau ahli bedah yang menyembuhkan.

Kuasa gereja untuk menjalankan disiplin ini nampak pada sejumlah ayat dalam Perjanjian Baru, seperti I Kor. 5:2, 7, 13; II Kor. 2:5-7; II Tes. 3:14-15; I Tim. 1:20; Tit. 3:10, dll.

III. Pendampingan Pastoral

Dalam karyanya Pendampingan Pastoral Sebagai Profesi Pertolongan, G. Heitink mendefinisikan pendampingan pastoral sebagai suatu profesi pertolongan; di mana seorang pendeta atau pastor mengikatkan diri dalam hubungan pertolongan dengan orang lain, agar dengan terang injil dan persekutuan dengan gereja Kristus dapat bersama-sama menemukan jalan keluar bagi pergumulan dan persoalan kehidupan dan iman.5 Jadi dalam pendampingan pastoral seorang pembimbing spiritual dan pribadi yang didampingi memiliki peran yang penting, di mana mereka bersama-sama berusaha menemukan jalan keluar bagi pergumulan dan persoalan kehidupan yang dialami anggota gereja tersebut. Bila dikaitkan dengan disiplin gereja, maka hamba Tuhan dan anggota gereja yang terkena disiplin tersebut bersama-sama berusaha untuk menemukan jalan keluar sebagai pemulihan diri terhadap anggota gereja tersebut.

Lebih jauh lagi G. Heitink juga berpendapat ada empat fungsi dasar dalam pendampingan pastoral, yang sesungguhnya telah dilakukan sepanjang perjalanan sejarah gereja, yaitu;6

a. Menyembuhkan. Fungsi ini sangat berkaitan erat dengan dimensi spiritual, yang juga berhubungan dengan dimensi fisik dan emosional manusia.7 Banyak orang yang mengalami putus asa dan ketiadaan arti kehidupan dalam hidupnya, sehingga menyebabkan mereka mengalami gangguan fisik seperti penyakit dan gangguan mental yang membuat mereka mengambil keputusan untuk mengakhiri hidup. Oleh karena itu di dalam pendampingan pastoral, perlu adanya fungsi penyembuhan terhadap dimensi spiritual dari pribadi yang didampingi, yaitu di dalam hubungannya dan kepercayaannya dengan Tuhan.

b. Menguatkan. Fungsi menguatkan digunakan dalam situasi tertentu yang tidak dapat diubah lagi, seperti proses kematian yang disebabkan oleh sakit terminal dan kematian itu sendiri. Fungsi ini berkaitan erat dengan persoalan antara pemeliharaan Allah dan tanggung jawab manusia di dalam hidupnya, serta menuntut adanya solidaritas dan keterlibatan dari pihak pembimbing spiritual dengan pribadi yang didampingi. Jadi di dalam fungsi ini, seorang pembimbing spiritual dan pribadi yang didampingi perlu bekerja sama dalam menguatkan anggota gereja tersebut untuk menghadapi situasi yang tidak mudah baginya.

c. Membimbing. Fungsi ini sebenarnya penuh dengan resiko di dalam pelaksanaannya. Hal ini disebabkan karena seorang pembimbing spiritual bukan hanya menjadi cermin, tetapi juga bukan seorang direktur spiritual yang mengarahkan kehidupan dengan memaksa. Oleh karena itu di dalam pelaksanaan fungsi ini perlu dikembangkan suatu sikap persaudaraan, yang akan menghasilkan pola timbal balik dalam hubungan antar manusia, sehingga suatu pola kepemimpinan dan bimbingan baru dapat bertumbuh.

d. Memperbaiki hubungan. Fungsi ini mempunyai arti memulihkan kembali hubungan yang telah rusak atau putus antar manusia atau antara manusia dengan Allah. Akan tetapi fungsi ini tidak dapat dibatasi dalam hubungan antar pribadi saja, melainkan juga perlu dilihat dalam konteks sosial, politik, dan kultural dari pribadi tersebut. Dengan demikian fungsi keempat ini perlu diintegrasikan dengan perspektif “keimaman” dan “kenabian” pelayanan pastor atau pendeta.

Pemahaman Alkitabiah mengenai pendampingan pastoral ini bertitik tolak dari tindakan dan pelayanan Allah kepada umat-Nya. Hal ini nampak dalam tindakan Allah sebagai gembala umat-Nya (Yes. 40:11, Mzm. 23), dan juga dari pengajaran serta teladan yang diberikan Yesus (Yoh. 3-5, Kol. 1:28, dll).

IV. Perlunya Pendampingan Pastoral Terhadap Anggota Gereja Yang Terkena Disiplin Gereja

Berdasarkan pembahasan pada bagian-bagian sebelumnya, penulis menemukan beberapa alasan mengenai perlunya pendampingan pastoral dalam pelaksanaan disiplin gereja;

a. Pada masa-masa awal sejarah gereja, disiplin gereja dilaksanakan dengan begitu keras kepada anggota-anggota gereja yang kedapatan bersalah. Mereka dijatuhi hukuman untuk menyatakan penyesalannya di muka umum selama tujuh, atau empat, atau tiga tahun, bahkan seumur hidupnya, dan selama itu mereka tidak boleh mengambil bagian dalam perjamuan kudus. Pihak gereja juga tidak mau menerima seseorang yang telah jatuh keduakalinya agar sekali lagi bertobat, malahan orang itu sampai akhir hidupnya dibuang dari gereja.8

Berdasarkan tindakan disiplin ini, maka sulit untuk meyakini bahwa orang yang mengalaminya akan sungguh-sungguh bertobat dan menjadi pulih, tanpa memiliki rasa putus asa yang sangat dalam dan kepahitan terhadap gereja. Calvin pun menyatakan bahwa sikap disiplin yang luar biasa keras ini tidak dapat dimaafkan sama sekali, tidak bermanfaat, dan tidak cocok dengan akal sehat.9

b. Sebagai seorang gembala, Allah telah melakukan pendampingan pastoral dalam mendisiplinkan umat-Nya. Allah dengan penuh kasih dan adil, tetap setia menyertai dan memelihara umat-Nya. Bahkan Allah dengan rela mengutus anak-Nya yang tunggal, sehingga dosa-dosa manusia bisa dihapuskan dan mereka sungguh-sungguh bertobat dari kesalahannya. Padahal umat-Nya seringkali justru tidak setia kepada Allah, dan menyakiti hati-Nya dengan berbuat dosa.

Jikalau Allah saja mau melakukan pendampingan pastoral dalam mendisiplinkan umat-Nya, maka sudah sepatutnya bagi gereja untuk meneladani Allah dengan memberikan pendampingan pastoral kepada anggotanya yang terkena disiplin gereja.

c. Berdasarkan pemahaman mengenai arti dan tujuannya, maka hasil yang diharapkan dari disiplin gereja ialah kesembuhan atau pemulihan anggota gereja dari kesalahannya. Sedangkan pendampingan pastoral pada pembahasan di atas mempunyai fungsi untuk menyembuhkan, menguatkan, membimbing dan memperbaiki hubungan. Dari tujuan yang sama dari disiplin gereja dan pendampingan pastoral, yaitu untuk menyembuhkan dan memulihkan (memperbaiki hubungan), maka hal ini menunjukkan adanya hubungan yang erat antara disiplin gereja dan pendampingan pastoral.10 Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendampingan pastoral merupakan salah satu bagian yang penting dalam pelaksanaan disiplin gereja, sehingga anggota gereja yang mengalaminya bisa dipulihkan.

V. Relevansi Bagi Pelayanan Gereja Masa Kini

Melihat keadaan gereja pada masa kini, gereja-gereja di Indonesia menunjukkan perkembangan gereja yang signifikan. Hal ini nampak dengan semakin banyak munculnya gereja-gereja dan sinode-sinode yang berkembang di Indonesia. Akan tetapi bercermin dari keadaan ini, penulis menyadari tidak sedikit gereja-gereja yang muncul dari kepahitan yang dialami oleh para pendirinya. Para pendiri gereja seperti ini biasanya merupakan orang-orang yang merasakan kepahitan terhadap gereja sebelumnya, karena mereka tidak digembalakan dengan baik. Mereka ini termasuk juga orang-orang yang terkena disiplin gereja, namun tidak menerima pendampingan pastoral dari pihak gereja yang memberikan disiplin. Hal ini menunjukkan perkembangan gereja-gereja di Indonesia rentan dengan perpecahan, khususnya oleh anggota gereja yang terkena disiplin gereja namun tidak menerima pendampingan pastoral untuk dipulihkan. Mereka hanya dihukum begitu saja, tanpa dipikirkan penanganan selanjutnya.

Oleh sebab itu penulis memikirkan bahwa pendampingan pastoral terhadap anggota gereja yang terkena disiplin sangat penting untuk dilakukan. Penting dilakukan supaya anggota gereja yang terkena disiplin bisa mengalami pemulihan dengan baik, dan sebagai upaya untuk mendukung pertumbuhan gereja-gereja di Indonesia yang sehat dan tidak rentan dengan perpecahan.

Akan tetapi dengan menyadari bahwa setiap gereja memiliki peraturan-peraturan yang khusus dalam pelaksanaan disiplin gereja, maka penulis memikirkan untuk perlu adanya suatu pemahaman yang sama tentang disiplin gereja dan pelaksanaannya, seperti suatu seminar atau pembahasan yang dilakukan para pemimpin gereja mengenai pelaksanaan disiplin gereja di Indonesia. Dan juga pengajaran kepada jemaat mengenai disiplin gereja dan pelaksanaannya berdasarkan tata gereja yang sesuai dengan pengajaran Alkitab, sehingga mereka tidak memandang rendah dan hina setiap saudaranya yang terkena disiplin gereja. Melainkan mereka bisa mendukung di dalam proses pemulihan saudaranya tersebut.

Dengan pemahaman yang baik dan benar mengenai disiplin gereja dan pelaksanaannya (di mana pendampingan pastoral termasuk di dalamnya), maka gereja akan dapat melakukan disiplin gereja terhadap anggotanya yang melanggar dengan penuh tanggung jawab.

-Laus Deus-

1 Ada tiga tanda khusus yang dimiliki gereja;

a. Pemberitaan Firman secara benar.

b. Pelaksanaan Sakramen-Sakramen (Mat. 28:19; Mark. 16:15, 16; Kis. 2:42; I Kor. 11:23, 30).

c. Pelaksanaan disiplin dengan setia (Mat. 18:18; I Kor. 5:1-5; 13; 14:33, 40; Why. 2:14, 15, 20).

2 Louis Berkhof, Teologi Sistematika 5: Doktrin Gereja, (Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1997), h. 90.

3 Yohanes Calvin, Institutio: Pengajaran Agama Kristen (terj.), (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), h. 268-269.

4 Th. Van Den End, Harta Dalam Bejana, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), h. 82.

5 Tjaard G. Homes & E. Gerrit Singgih, Teologi dan Praksis Pastoral, (Jakarta: BPK Gunung Mulia & Yogyakarta: Kanisius, 1992), h. 405.

6 Ibid., h. 416-420.

7 Seringkali orang memisahkan dimensi fisik, emosional, dan spiritual. Namun sesungguhnya ketiga dimensi ini tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia, karena saling terkait dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.

8 Yohanes Calvin, Institutio: Pengajaran Agama Kristen, h. 270-271. Lihat juga Th. Van Den End, Harta Dalam Bejana, h. 58-63.

9 Yohanes Calvin, Institutio: Pengajaran Agama Kristen, h. 270-271.

10 Seperti seorang anak yang sakit flu karena bermain hujan. Supaya si anak bisa sembuh maka ibunya harus memberikan obat walaupun rasanya pahit untuk diminum. Dan di dalam proses untuk memberikan obat itu (yang tentunya tidak cuman sekali) maka sang ibu akan mendampingi anaknya, supaya si anak mau meminum obat tersebut sehingga ia sembuh. Tindakan memberi obat yang pahit tersebut dapat dipahami sebagai tindakan disiplin yang diberikan oleh sang ibu kepada anaknya, dan pendampingan yang dilakukan oleh sang ibu selama proses pemberian obat tersebut dapat dipahami sebagai tindakan pendampingan pastoral yang dilakukan sang ibu kepada anaknya.

Kamis, 07 Februari 2008

This is my house! This is my home

This is My House! This is My Home!
Terinspirasi dari khotbah salah seorang mahasiswa, yang sempat menjelaskan perbedaan antara istilah house dan home, maka penulis mencoba untuk memikirkan implikasi yang terdapat dalam penjelasan tersebut dalam konteks kehidupan ITA. Tujuan tulisan ini untuk mengembangkan dan memelihara rasa memiliki terhadap Institusi di mana kita tinggal, dan persekutuan yang baik di dalam diri setiap anggota keluarga besar ITA.
Perbedaan House dan Home
Berdasarkan pengertian secara literal, penulis tidak menemukan adanya perbedaan arti yang mencolok dari kata house dan home, sebab kedua kata ini di dalam bahasa Indonesia mengarah kepada satu arti yaitu rumah. Akan tetapi dalam khotbahnya, sang mahasiswa tersebut menjelaskan bahwa kata house mengarah kepada sebuah bangunan untuk tinggal, sedangkan home mengarah kepada sebuah tempat di mana ayah, ibu, dan anak-anak tinggal bersama-sama, dan terdapat persekutuan di dalamnya.
This is My House!
Berdasarkan pengertian kata house di atas, maka penulis memahami bahwa ITA adalah house bagi para penghuninya. Atau dengan kata lain ITA merupakan sebuah bangunan yang dibuat agar para dosen, mahasiswa, dan karyawan dapat tinggal di dalamnya. Dalam pemahaman ini, penulis tidak berusaha menghilangkan fungsi ITA sebagai lembaga pendidikan theologia dan pembentukan para calon hamba Tuhan. Namun justru berangkat dari fungsi itulah maka penulis memahami bangunan ITA ini didirikan, agar proses pendidikan dan pembentukan tersebut dapat berjalan dengan maksimal.
Ada beberapa alasan yang penulis coba kemukakan untuk mendukung pemahaman bahwa ITA adalah house bagi para penghuninya;
1.Terdapatnya gedung asrama mahasiswa, perumahan dosen, dan tempat tinggal para karyawan, menunjukkan bahwa ITA telah didirikan agar para mahasiswa, dosen dan karyawan dapat tinggal di dalamnya. Hal ini semakin diperkuat dengan peraturan agar para mahasiswa yang belum berkeluarga tinggal di dalam asrama.
2.Ketika seseorang bertanya kepada para mahasiswa, dosen, dan beberapa karyawan “ Di mana Anda tinggal?”, maka jawaban yang seringkali diberikan ialah “Saya/Kami tinggal di ITA.” Jawaban ini menunjukkan bahwa house para mahasiswa, dosen, dan beberapa karyawan tersebut adalah ITA.
3.Pada waktu pembuatan Kartu Tanda Penduduk, beberapa mahasiswa, dosen dan karyawan akan mengisi kolom alamat pada lembar formulir dengan menulis jalan Argopuro 28-34, Lawang. Ini menunjukkan bahwa pribadi yang bersangkutan benar-benar tinggal di sebuah bangunan yang dibuat untuk dihuni, yaitu ITA.
Dari beberapa alasan ini, kita dapat memahami bahwa ITA merupakan house bagi para penghuninya, walaupun mungkin tidak berbentuk seperti house pada umumnya. Sebagus atau seburuk apapun ITA adalah house bagi kita. Oleh karena itu, marilah kita pelihara house ini dengan merawat dan membersihkannya setiap hari. Kalau kotor ya dibersihkan, sampah-sampah dibuang (kerajinan kerja rutinnya ditingkatkan lagi), keamanannya turut dijaga (ini bukan cuma tugas satpam lho), dan sebagainya. Marilah kita pelihara house ini tidak dengan bersungut-sungut atau perasaan tidak enak di dalam hati, melainkan melakukannya dengan sukacita dan kesadaran bahwa “This is my house”. Dengan demikian, kita akan dapat tinggal di dalam ITA dengan nyaman dan sehat.
This is My Home!
Selain ITA adalah house bagi para penghuninya, penulis juga memahami bahwa ITA adalah home bagi mereka yang tinggal di dalamnya. Berikut beberapa alasan yang penulis coba kemukakan untuk mendukung pemahaman bahwa ITA adalah home bagi mereka yang tinggal di dalamnya:
1.Karena adanya orang tua dan saudara-saudara yang kita miliki selama menjalani kehidupan di ITA, yaitu bapak-ibu asrama, dosen-dosen, dan mahasiswa-mahasiswa serta karyawan-karyawan yang juga tinggal di ITA. Atau dengan kata lain, kita mempunyai sebuah keluarga di sini, yaitu keluarga besar ITA.
2.Munculnya perasaan kangen dan rindu di dalam diri para mahasiswa (yang penulis yakini ada di dalam diri para dosen juga) untuk dapat berkumpul bersama kembali di ITA – baik pada waktu liburan, praktek pelayanan, maupun setelah lulus nantinya – menunjukkan adanya sebuah persekutuan yang telah terjalin di dalam keluarga besar ITA.
3.Adanya peristiwa suka dan duka yang dilalui dengan tawa dan tangis bersama-sama selama menjalani kehidupan di ITA, akan menjadi sebuah kenangan yang tidak terlupakan bagi para anggota keluarga besar ITA dan akan semakin mempererat persekutuan di dalamnya.
Dari beberapa alasan ini, kita dapat memahami bahwa ITA adalah home bagi mereka yang tinggal di dalamnya. Sebuah home di mana sebuah keluarga besar tinggal, dan sebuah persekutuan telah terjalin di dalam diri setiap anggota keluarga tersebut. Oleh karena itu marilah kita mengembangkan dan memelihara persekutuan yang baik di dalam keluarga besar ITA, sehingga keutuhan keluarga besar ini dapat tetap terjaga. Komunikasi yang baik di antara setiap anggota keluarga terus ditingkatkan, kesediaan untuk memahami, dan penerimaan terhadap kelebihan serta kekurangan dari setiap anggota keluarga terus dikembangkan, sambil setiap anggota keluarga dituntut untuk terus berusaha memperbaiki dan mengembangkan diri. Marilah kita memelihara persekutuan di dalam keluarga besar ini, dengan kesadaran di dalam hati bahwa “This is my home”. Dengan demikian, ITA akan menjadi home sweet home bagi setiap anggota keluarga besar ITA.
This is My House! This is My Home!
Pada bagian akhir ini, penulis kembali kepada tujuan dari tulisan ini yaitu untuk mengembangkan dan memelihara rasa memiliki terhadap Institusi di mana kita tinggal, dan persekutuan yang baik di dalam diri setiap anggota keluarga besar ITA. Bukan sebuah hal yang mudah untuk mencapai tujuan tersebut, namun penulis meyakini perlu ada langkah yang diambil sebagai lanjutan dari langkah-langkah yang telah dimulai sebelumnya. Oleh karena itu, marilah kita menjalani kehidupan di ITA ini, dengan kesadaran bahwa “This is My House, This is My Home!”. 
Bright