Sabtu, 09 Februari 2008

Sound From A Wounded Heart

SOUND FROM A WOUNDED HEART

(Pemikiran Mengenai Perlunya Pendampingan Pastoral Terhadap Anggota Gereja Yang Terkena Disiplin Gereja)

I. Pendahuluan

A. Latar Belakang

Pelaksanaan disiplin dengan setia merupakan salah satu tanda khusus yang dimiliki gereja.1 Tanda khusus ini diperlukan untuk membedakan gereja yang sehat dari gereja yang tidak sehat, sehingga dengan demikian pelaksanaan disiplin dalam gereja menjadi sangat penting.

Akan tetapi berkaca dari keadaan gereja-gereja di Indonesia, disiplin gereja selain sulit untuk dilakukan juga seringkali menjadi sesuatu yang menakutkan bagi anggota gereja yang mengalaminya. Tidak sedikit orang yang menjadi hancur hidupnya, memiliki kepahitan terhadap gereja, bahkan meninggalkan keyakinan imannya karena disiplin gereja yang diterimanya. Disiplin gereja yang seharusnya menjadi obat yang menyembuhkan, malah menjadi racun yang mematikan. Mengapa bisa terjadi hal demikian? Ada apa dengan disiplin gereja?

B. Hipotesa

Penulis memikirkan bahwa disiplin gereja menjadi sesuatu yang menakutkan karena;

a. Kurangnya pemahaman yang baik di dalam jemaat tentang disiplin gereja, yang dapat membuat mereka akan memandang hina, membenci, bahkan menjauhi anggota gereja yang terkena disiplin gereja.

b. Kurangnya atau bahkan mungkin tidak adanya pendampingan pastoral yang dilakukan pihak gereja kepada anggotanya yang terkena disiplin, yang menunjukkan bahwa pelaksanaan disiplin gereja tersebut kurang serius dan tidak bertanggung jawab.

Dan faktor kedua inilah yang menjadi fokus pembahasan penulis dalam tulisan ini.

Ketika gereja telah memberikan disiplin kepada anggotanya, maka gereja juga bertanggung jawab untuk memberikan pendampingan pastoral terhadap anggotanya yang terkena disiplin. Dengan demikian disiplin gereja akan dapat memulihkan orang tersebut dari penyakitnya.

Pada bagian selanjutnya, penulis akan membahas secara ringkas mengenai disiplin gereja, pendampingan pastoral, perlunya pendampingan pastoral terhadap anggota gereja yang terkena disiplin gereja dan relevansinya bagi masa kini.

II. Disiplin Gereja

Disiplin gereja atau yang biasa juga disebut potestas iudicans merupakan kuasa yang dipakai untuk menjaga kesucian gereja, dengan cara menerima mereka yang telah lulus suatu ujian dan menyingkirkan mereka yang ada di luar kebenaran atau melakukan hal-hal yang tidak benar di dalam hidup mereka.2

Dalam karyanya Institutio Christianae Religionis, Calvin mengemukakan tiga tujuan yang hendak dicapai dalam disiplin gereja, yaitu; a. Supaya mereka yang menempuh hidup yang memalukan dan keji tidak sampai digolongkan sebagai orang Kristen. b. Supaya orang-orang yang baik tidak dirusak karena terus-menerus bergaul dengan orang-orang yang jahat, sebagaimana yang biasanya terjadi. c. Supaya mereka yang terkena disiplin gereja menjadi malu dan mulai menyesali kejahatan mereka.3

Berdasarkan pengertian dan tujuan disiplin gereja tersebut, dapat dipahami bahwa disiplin gereja bisa bersifat menyembuhkan anggotanya yang sakit. Akan tetapi disiplin gereja juga bisa bersifat membedah, yaitu bermaksud menyingkirkan anggota yang sakit itu. Pemahaman inipun nampak dalam pandangan Augustinus ketika menghadapi kaum donatis, seperti yang dikutip oleh Van Den End;4

Memang, hukuman disiplin atas orang yang berkelakuan buruk harus ada. Tetapi hendaknya pelaksanaan hukuman itu jangan seperti pisau tukang bantai yang menyembelih, tetapi seperti pisau ahli bedah yang menyembuhkan.

Kuasa gereja untuk menjalankan disiplin ini nampak pada sejumlah ayat dalam Perjanjian Baru, seperti I Kor. 5:2, 7, 13; II Kor. 2:5-7; II Tes. 3:14-15; I Tim. 1:20; Tit. 3:10, dll.

III. Pendampingan Pastoral

Dalam karyanya Pendampingan Pastoral Sebagai Profesi Pertolongan, G. Heitink mendefinisikan pendampingan pastoral sebagai suatu profesi pertolongan; di mana seorang pendeta atau pastor mengikatkan diri dalam hubungan pertolongan dengan orang lain, agar dengan terang injil dan persekutuan dengan gereja Kristus dapat bersama-sama menemukan jalan keluar bagi pergumulan dan persoalan kehidupan dan iman.5 Jadi dalam pendampingan pastoral seorang pembimbing spiritual dan pribadi yang didampingi memiliki peran yang penting, di mana mereka bersama-sama berusaha menemukan jalan keluar bagi pergumulan dan persoalan kehidupan yang dialami anggota gereja tersebut. Bila dikaitkan dengan disiplin gereja, maka hamba Tuhan dan anggota gereja yang terkena disiplin tersebut bersama-sama berusaha untuk menemukan jalan keluar sebagai pemulihan diri terhadap anggota gereja tersebut.

Lebih jauh lagi G. Heitink juga berpendapat ada empat fungsi dasar dalam pendampingan pastoral, yang sesungguhnya telah dilakukan sepanjang perjalanan sejarah gereja, yaitu;6

a. Menyembuhkan. Fungsi ini sangat berkaitan erat dengan dimensi spiritual, yang juga berhubungan dengan dimensi fisik dan emosional manusia.7 Banyak orang yang mengalami putus asa dan ketiadaan arti kehidupan dalam hidupnya, sehingga menyebabkan mereka mengalami gangguan fisik seperti penyakit dan gangguan mental yang membuat mereka mengambil keputusan untuk mengakhiri hidup. Oleh karena itu di dalam pendampingan pastoral, perlu adanya fungsi penyembuhan terhadap dimensi spiritual dari pribadi yang didampingi, yaitu di dalam hubungannya dan kepercayaannya dengan Tuhan.

b. Menguatkan. Fungsi menguatkan digunakan dalam situasi tertentu yang tidak dapat diubah lagi, seperti proses kematian yang disebabkan oleh sakit terminal dan kematian itu sendiri. Fungsi ini berkaitan erat dengan persoalan antara pemeliharaan Allah dan tanggung jawab manusia di dalam hidupnya, serta menuntut adanya solidaritas dan keterlibatan dari pihak pembimbing spiritual dengan pribadi yang didampingi. Jadi di dalam fungsi ini, seorang pembimbing spiritual dan pribadi yang didampingi perlu bekerja sama dalam menguatkan anggota gereja tersebut untuk menghadapi situasi yang tidak mudah baginya.

c. Membimbing. Fungsi ini sebenarnya penuh dengan resiko di dalam pelaksanaannya. Hal ini disebabkan karena seorang pembimbing spiritual bukan hanya menjadi cermin, tetapi juga bukan seorang direktur spiritual yang mengarahkan kehidupan dengan memaksa. Oleh karena itu di dalam pelaksanaan fungsi ini perlu dikembangkan suatu sikap persaudaraan, yang akan menghasilkan pola timbal balik dalam hubungan antar manusia, sehingga suatu pola kepemimpinan dan bimbingan baru dapat bertumbuh.

d. Memperbaiki hubungan. Fungsi ini mempunyai arti memulihkan kembali hubungan yang telah rusak atau putus antar manusia atau antara manusia dengan Allah. Akan tetapi fungsi ini tidak dapat dibatasi dalam hubungan antar pribadi saja, melainkan juga perlu dilihat dalam konteks sosial, politik, dan kultural dari pribadi tersebut. Dengan demikian fungsi keempat ini perlu diintegrasikan dengan perspektif “keimaman” dan “kenabian” pelayanan pastor atau pendeta.

Pemahaman Alkitabiah mengenai pendampingan pastoral ini bertitik tolak dari tindakan dan pelayanan Allah kepada umat-Nya. Hal ini nampak dalam tindakan Allah sebagai gembala umat-Nya (Yes. 40:11, Mzm. 23), dan juga dari pengajaran serta teladan yang diberikan Yesus (Yoh. 3-5, Kol. 1:28, dll).

IV. Perlunya Pendampingan Pastoral Terhadap Anggota Gereja Yang Terkena Disiplin Gereja

Berdasarkan pembahasan pada bagian-bagian sebelumnya, penulis menemukan beberapa alasan mengenai perlunya pendampingan pastoral dalam pelaksanaan disiplin gereja;

a. Pada masa-masa awal sejarah gereja, disiplin gereja dilaksanakan dengan begitu keras kepada anggota-anggota gereja yang kedapatan bersalah. Mereka dijatuhi hukuman untuk menyatakan penyesalannya di muka umum selama tujuh, atau empat, atau tiga tahun, bahkan seumur hidupnya, dan selama itu mereka tidak boleh mengambil bagian dalam perjamuan kudus. Pihak gereja juga tidak mau menerima seseorang yang telah jatuh keduakalinya agar sekali lagi bertobat, malahan orang itu sampai akhir hidupnya dibuang dari gereja.8

Berdasarkan tindakan disiplin ini, maka sulit untuk meyakini bahwa orang yang mengalaminya akan sungguh-sungguh bertobat dan menjadi pulih, tanpa memiliki rasa putus asa yang sangat dalam dan kepahitan terhadap gereja. Calvin pun menyatakan bahwa sikap disiplin yang luar biasa keras ini tidak dapat dimaafkan sama sekali, tidak bermanfaat, dan tidak cocok dengan akal sehat.9

b. Sebagai seorang gembala, Allah telah melakukan pendampingan pastoral dalam mendisiplinkan umat-Nya. Allah dengan penuh kasih dan adil, tetap setia menyertai dan memelihara umat-Nya. Bahkan Allah dengan rela mengutus anak-Nya yang tunggal, sehingga dosa-dosa manusia bisa dihapuskan dan mereka sungguh-sungguh bertobat dari kesalahannya. Padahal umat-Nya seringkali justru tidak setia kepada Allah, dan menyakiti hati-Nya dengan berbuat dosa.

Jikalau Allah saja mau melakukan pendampingan pastoral dalam mendisiplinkan umat-Nya, maka sudah sepatutnya bagi gereja untuk meneladani Allah dengan memberikan pendampingan pastoral kepada anggotanya yang terkena disiplin gereja.

c. Berdasarkan pemahaman mengenai arti dan tujuannya, maka hasil yang diharapkan dari disiplin gereja ialah kesembuhan atau pemulihan anggota gereja dari kesalahannya. Sedangkan pendampingan pastoral pada pembahasan di atas mempunyai fungsi untuk menyembuhkan, menguatkan, membimbing dan memperbaiki hubungan. Dari tujuan yang sama dari disiplin gereja dan pendampingan pastoral, yaitu untuk menyembuhkan dan memulihkan (memperbaiki hubungan), maka hal ini menunjukkan adanya hubungan yang erat antara disiplin gereja dan pendampingan pastoral.10 Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendampingan pastoral merupakan salah satu bagian yang penting dalam pelaksanaan disiplin gereja, sehingga anggota gereja yang mengalaminya bisa dipulihkan.

V. Relevansi Bagi Pelayanan Gereja Masa Kini

Melihat keadaan gereja pada masa kini, gereja-gereja di Indonesia menunjukkan perkembangan gereja yang signifikan. Hal ini nampak dengan semakin banyak munculnya gereja-gereja dan sinode-sinode yang berkembang di Indonesia. Akan tetapi bercermin dari keadaan ini, penulis menyadari tidak sedikit gereja-gereja yang muncul dari kepahitan yang dialami oleh para pendirinya. Para pendiri gereja seperti ini biasanya merupakan orang-orang yang merasakan kepahitan terhadap gereja sebelumnya, karena mereka tidak digembalakan dengan baik. Mereka ini termasuk juga orang-orang yang terkena disiplin gereja, namun tidak menerima pendampingan pastoral dari pihak gereja yang memberikan disiplin. Hal ini menunjukkan perkembangan gereja-gereja di Indonesia rentan dengan perpecahan, khususnya oleh anggota gereja yang terkena disiplin gereja namun tidak menerima pendampingan pastoral untuk dipulihkan. Mereka hanya dihukum begitu saja, tanpa dipikirkan penanganan selanjutnya.

Oleh sebab itu penulis memikirkan bahwa pendampingan pastoral terhadap anggota gereja yang terkena disiplin sangat penting untuk dilakukan. Penting dilakukan supaya anggota gereja yang terkena disiplin bisa mengalami pemulihan dengan baik, dan sebagai upaya untuk mendukung pertumbuhan gereja-gereja di Indonesia yang sehat dan tidak rentan dengan perpecahan.

Akan tetapi dengan menyadari bahwa setiap gereja memiliki peraturan-peraturan yang khusus dalam pelaksanaan disiplin gereja, maka penulis memikirkan untuk perlu adanya suatu pemahaman yang sama tentang disiplin gereja dan pelaksanaannya, seperti suatu seminar atau pembahasan yang dilakukan para pemimpin gereja mengenai pelaksanaan disiplin gereja di Indonesia. Dan juga pengajaran kepada jemaat mengenai disiplin gereja dan pelaksanaannya berdasarkan tata gereja yang sesuai dengan pengajaran Alkitab, sehingga mereka tidak memandang rendah dan hina setiap saudaranya yang terkena disiplin gereja. Melainkan mereka bisa mendukung di dalam proses pemulihan saudaranya tersebut.

Dengan pemahaman yang baik dan benar mengenai disiplin gereja dan pelaksanaannya (di mana pendampingan pastoral termasuk di dalamnya), maka gereja akan dapat melakukan disiplin gereja terhadap anggotanya yang melanggar dengan penuh tanggung jawab.

-Laus Deus-

1 Ada tiga tanda khusus yang dimiliki gereja;

a. Pemberitaan Firman secara benar.

b. Pelaksanaan Sakramen-Sakramen (Mat. 28:19; Mark. 16:15, 16; Kis. 2:42; I Kor. 11:23, 30).

c. Pelaksanaan disiplin dengan setia (Mat. 18:18; I Kor. 5:1-5; 13; 14:33, 40; Why. 2:14, 15, 20).

2 Louis Berkhof, Teologi Sistematika 5: Doktrin Gereja, (Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1997), h. 90.

3 Yohanes Calvin, Institutio: Pengajaran Agama Kristen (terj.), (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), h. 268-269.

4 Th. Van Den End, Harta Dalam Bejana, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), h. 82.

5 Tjaard G. Homes & E. Gerrit Singgih, Teologi dan Praksis Pastoral, (Jakarta: BPK Gunung Mulia & Yogyakarta: Kanisius, 1992), h. 405.

6 Ibid., h. 416-420.

7 Seringkali orang memisahkan dimensi fisik, emosional, dan spiritual. Namun sesungguhnya ketiga dimensi ini tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia, karena saling terkait dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.

8 Yohanes Calvin, Institutio: Pengajaran Agama Kristen, h. 270-271. Lihat juga Th. Van Den End, Harta Dalam Bejana, h. 58-63.

9 Yohanes Calvin, Institutio: Pengajaran Agama Kristen, h. 270-271.

10 Seperti seorang anak yang sakit flu karena bermain hujan. Supaya si anak bisa sembuh maka ibunya harus memberikan obat walaupun rasanya pahit untuk diminum. Dan di dalam proses untuk memberikan obat itu (yang tentunya tidak cuman sekali) maka sang ibu akan mendampingi anaknya, supaya si anak mau meminum obat tersebut sehingga ia sembuh. Tindakan memberi obat yang pahit tersebut dapat dipahami sebagai tindakan disiplin yang diberikan oleh sang ibu kepada anaknya, dan pendampingan yang dilakukan oleh sang ibu selama proses pemberian obat tersebut dapat dipahami sebagai tindakan pendampingan pastoral yang dilakukan sang ibu kepada anaknya.

Tidak ada komentar: